Ketua DPR RI Bambang Soesatyo mengucapakan pada Tanggal 17 Agustus 2018 DPR RI akan memberikan hadiah besar bagi Bangsa Indonesia berupa pengesahan RUU KUHP yang sudah bertahun-tahun tidak kunjung selesai. Ada banyak pro dan kontra terhadap beberapa pasal di RUU KUHP tersebut, salah satunya adalah pengaturan tindak pidana korupsi (Tipikor).
Pegiat anti korupsi dan KPK sendiri menilai memasukan pasal Tipikor di dalam KUHP dapat melemahkan KPK. Sebabnya adalah bahwa Pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi dimasukan di dalam Rancangan KUHP, Pasal 2 UU Tipikor berubah menjadi Pasal 687 RKUHP dan Pasal 3 berubah menjadi Pasal 688 RKUHP. Perubahan tersebut menimbulkan efek melemahkan KPK sebagai lembaga khusus untuk pemberantasan Tipikor.
Jika perubahan Pasal 2 dan 3 tersebut benar adanya maka terjadi pergeseran definisi tindak pidana korupsi (Tipikor) dan pergeseran kewenangan KPK, sepanjang ini keduanya sangat strategis dalam penegakan hukum Tipikor. Menurut UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK kewenangan KPK adalah melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Sedangkan defenisi yuridis dari Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pengadobsian Pasal 2 dan 3 UU Tipikor oleh RKUHP dapat menghilangkan sifatnya sebagai delik khusus yang selama ini menjadi kewenangan KPK. Kedua Pasal tersebut merupakan ruh dari UU Tipikor, dan sepanjang pemberantasan Tipikor mayoritas tersangka dan terdakwa dikenakan pasal tersebut. Oleh karena itu perubahan tersebut mengakibatkan kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi (khususnya Pasal 2 dan 3) menjadi berkurang.
Demikian pula, menurut Pasal 5 dan 6 UU 46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menegaskan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang yang asalnya dari Tipikor dan tindak pidana lain yang secara tegas dalam UU lain ditentukan sebagai Tipikor.
Meskipun Pengadilan Tipikor memiliki kewenangan mengadili tindak pidana lain yang secara tegas dalam UU lain ditentukan sebagai Tipikor tetapi masih menjadi polemik. Sebab perubahan defenisi Tipikor menjadi hal penting untuk mendudukan secara proporsional. Jika tetap ingin menjadi kewenangan Pengadilan Tipikor maka RKUHP harus mengatur defenisi Tipikor itu sendiri, jika tidak diatur maka Pengadilan Tipikor juga tidak berwenang mengadili tindak pidana diluar UU Tipikor.