Proses Pengikatan Hak Tanggugan
Jika seseorang meminjam sejumlah uang (debitur) di suatu bank (kreditur) maka bank akan meminta benda yang akan dijadikan jaminan atau agunan terhadap pinjaman (utang) tersebut. Nilai benda jaminan tersebut harus lebih dari nilai utang, karena benda tersebut sebagai penjamin atas pelunasan utang. Selanjutnya proses peminjaman uang akan dituangkan dalam sebuah akta perjanjian kredit, dibuat di hadapan Notaris, dengan menyebutkan barang jaminan tersebut, debiturpun diwajibkan menyerahkan sertifikat hak atas benda tersebut, dapat berupa SHM, SHGB, SHGU dan lain-lain sesuai kesepakatan.
ads
Sebagai asesor dari perjanjian kredit, maka dibuatlah Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), benda yang diikat sebagai jaminan adalah penjamin pelunasan utang. Setelah tanggal ditandatanganinya APHT berlaku hanya 7 (tujuh) hari, setelah itu hak tanggungan didaftarkan di kantor pertanahan setempat. Jika peletakan hak tanggungan memakai surat kuasa maka harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak Tanggungan;
- tidak memuat kuasa substitusi;
- mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitor apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan.
Judul terkait: Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT)
Surat Kuasa Untuk Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya. SKMHT mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan. SKMHT mengenai hak atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan, jika hal tersebut tidak terpenuhi dapat mengakibatkan surat kuasa batal demi hukum.
ads
Sesuai dengan tenggang waktu tersebut di atas, hak tanggungan tersebut didaftarkan oleh PPAT ke Kantor Pertanahan. Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat Hak Tanggungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sertifikat Hak Tanggungan tersebut memuat irah-irah dengan kata-kata "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Dengan demikian Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah. Kecuali apabila diperjanjikan lain, sertifikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan dikembalikan kepada pemegang hak tanggungan dalam hal ini kreditur (bank).
Eksekusi Hak Tanggungan
Hak kebendaan yang diikat dengan hak tanggungan sebagai penjamin pelunasan utang bagi kreditur, jika debitur (peminjam uang) cidera janji (wanprestasi) maka debitur pemegang hak tanggungan dapat mengambil atau memperoleh pelunasan piutangnya dari hasil penjualan benda tersebut melalui balai pelelangan umum.
Mekanisme eksekusi hak tanggungan terhadap debitur yang cidera janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, maka:
- berdasarkan hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UU No. 4 Tahun 1996, atau;
- berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) UU No. 4 Tahun 1996, obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor lainnya.
Penjualan benda objek hak tanggungan dapat dilaksanakan di bahwah tangan jika dengan cara tersebut memperoleh harga tertinggi dan menguntungkan oleh pemberi dan pemegang hak tanggungan (debitur dan kreditur).
Jika penjualan benda objek hak tanggungan dilakukan melalui lembaga pelelangan umum, waktunya adalah 1 (satu) bulan sejak tanggal diberitahukan secara tertulis kepada pihak-pihak yang berkepentingan misalnya kepada pemegang hak tanggungan yang lain. Disamping itu, sebelumnya harus diumumkan melalui minimal 2 (dua) media massa setempat dimana objek hak tanggungan berada dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Eksekusi terhadap objek hak tanggungan dengan menjual langsung objek tersebut oleh kreditur melalui lembaga pelelangan umum tanpa melalui ijin atau perintah eksekusi (fiat executy) Ketua Pengadilan dikenal dengan Parate Executy atau dikenal dengan eksekusi langsung. Parate executy mendapat pembenaran dari beberapa ahli hukum diantaranya adalah pendapat Dr. Herowati Poesoko, SH., MH. dalam bukunya berjudul “Parate Eksekusi Objek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Dalam UUHT) Terbitan LaksBang PRESSindo Yogyakarta 2007, Halaman 248, menyatakan; “Pasal 6 UUHT tersebut dipersiapkan oleh pembuat undang-undang sebagai tiang penyanggah utama bagi kreditor (bank) dalam rangka percepatan pelunasan piutangnya”. Disamping itu, beliau menyatakan dalam buku yang sama Halaman 248; “Kemudahan menggunakan sarana Pasal 6 UUHT dikarenakan pelaksanaan penjualan objek hak tanggungan hanya melalui pelelangan umum, tanpa harus meminta fiat Ketua Pengadilan Negeri”.
ads
Senada dengan pendapat tersebut, Prof. Dr. St. Remy Sjahdeini, SH., dalam bukunya berjudul; Hak tanggungan, Asas-asas, Ketentuan-ketentuan Pokok dan Masalah Yang Dihadapi oleh Perbankan – Satu Kajian Mengenai Undang-undang Hak Tanggungan, Terbitan Alumni, Bandung 1999, Halaman 46, menegaskan; “Untuk melakukan parate executi, pemegang hak tanggungan tidak perlu bukan saja memperoleh perstujuan pemberi hak tanggungan, tetapi juga tidak perlu meminta penetapan dari pengadilan setempat
Disamping itu, Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara mengeluarkan Surat Edaran (SE) No. SE-23/PN/2000 pada Angka 2 menyatakan; “Penjualan objek hak tanggungan tersebut pada dasarnya dilakukan dengan cara lelang dan tidak memerlukan fiat eksekusi dari pengadilan mengingat penjualan berdasarkan Pasal 6 UUHT merupakan tindakan pelaksanaan perjanjian” disamping itu disebutkan “pelaksanaan lelang hak tanggungan berdasarkan Pasal 6 UUHT tidak diperlukan persetujuan debitur untuk pelaksanaan lelangnya”
Bahwa berdasarkan ketentuan yuridis dan doktrin hukum di atas mekanisme hukum yang dipakai untuk melakukan lelang objek hak tanggungan adalah Parate Executy bukan melalui fiat executy. Dengan demikian ketentuan eksekusi objek hak tanggungan menyimpang dari Pasal 224 HIR.
Pasal 1 Angkat 4 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 27/PMK-06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, menegaskan arti Lelang Eksekusi adalah lelang untuk melaksanakan putusan atau penetapan pengadilan, dokumen-dokumen lain yang dipersamakan dengan itu, dan/ atau melaksanakan ketentuan dalam peraturan perundangundangan”. Sementara itu yang tergolong pelaksanaan lelang eksekusi salah satunya adalah lelang terhadap objek hak tanggungan Pasal 6 UUHT (vide; Pasal 6 PMK No. 27/PMK-06/2016).
Kemudian dalam Pasal 14 PMK No. 27/PMK-06/2016 tersebut dinyatakan; Ayat (1) Dalam hal terdapat gugatan sebelum pelaksanaan lelang terhadap objek Hak Tanggungan dari pihak lain selain debitor/tereksekusi, suami atau istri debitor/tereksekusi yang terkait kepemilikan, Lelang Eksekusi Pasal 6 UUHT tidak dapat dilaksanakan. Ayat (2) Terhadap objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaan lelangnya dilakukan berdasarkan titel eksekutorial dari Sertifikat Hak Tanggungan yang memerlukan fiat eksekusi. Ayat (3) Permohonan atas pelaksanaan lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Pengadilan Negeri, kecuali jika pemegang hak tanggungan merupakan lembaga yang menggunakan sistem syariah maka permohonan dilakukan oleh Pengadilan Agama.
Berdasarkan pengertian pasal tersebut, yang dipersamakan dengan putusan pengadilan bekekuatan hukum tetap adalah Sertifikat Hak Tanggungan yang memuat irah-irah kalimat "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Dan dengan mencermati kalimat pada Pasal 14 tersebut, hanya objek hak tanggungan yang terhadapnya dilakukan upaya hukum verzet (perlawanan) dalam eksekusinya harus melalui fiat executy yakni melalui perintah pengadilan negeri. Logikahukumnya jika objek hak tanggungan tidak sedang dilakukan upaya verzet maka eksekusinya dengan cara parate eksekusi.