Penulis - Vivi Lia Falini Tanjung, SH.
Pendahuluan
Negara Indonesia adalah negara hukum yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Hal ini merupakan realitas sosial, sehingga sangat relevan jika hukum Islam dijadikan sumber rujukan dalam pembentukan hukum nasional, oleh sebab itu peran ulama dan ilmuan sangat diperlukan untuk membentuk hukum nasional yang bersumberkan pada hukum Islam (Taufiq, 1990: 16), sehingga strategi perkembangan hukum Islam secara komulatif tidak dapat dilepaskan dari kerangka ijtihad sebagai suatu metode, antara lain dengan strategi asimilasi imitatif dan inovatif terhadap segala norma yang berharga yang hidup dalam masyarakat Indonesia dan bermanfaat dalam ukuran yang dibolehkan dalam kultur Islam (Ahmad, 1983: 78).
ads
Refleksi Penduduk Langit Bernama Uwais al-Qarni
Pemahaman terhadap hukum Islam tidak hanya didasarkan pada makna literalnya, tetapi pengkajian dan pengembangan hukum secara normatif sebagai cara mewujudkan keadilan hukum yang dapat diterapkan di tengah-tengah masyarakat adalah hal penting sebagai wahana pembinaan dan pengembangan hukum nasional di Indonesia, dan perlu dipahami bahwa dalam Islam terdapat 3 (tiga) substansi hukum yang dapat dipedomani, yaitu: (1) hukum-hukum yang ketentuannya secara detail diatur oleh Al-Quran dan Sunnah; (2) hukum-hukum yang ada dalam Al-Quran dan Sunnah, tetapi ketentuan detailnya diserahkan kepada negara; dan (3) hukum-hukum yang tidak tersurat dalam Al-Quran dan Sunnah, tetapi tersirat dalam sunnatullah dan inilah yang merupakan kewajiban negara untuk mengaturnya (Sidik dan Muttaqin, 1999: 172). Keadaan tersebut memungkinkan terjadinya hukum-hukum baru yang mengecualikan atau membatasi dalil umum dan mensyaratkan dalil mutlak dalam Al-Quran.
Legislasi Hukum Islam dalam Hukum Nasional
Berlakunya hukum Islam di Indonesia lazimnya mengambil 2 (dua) bentuk, yakni: (1) hukum normatif yang diimplementasikan secara sadar oleh umat Islam dengan menggunakan pendekatan kultural; dan (2) hukum formal yang dilegislasikan sebagai hukum positif bagi umat Islam dengan menggunakan pendekatan struktural. Proses legislasi hukum Islam dalam bentuk kedua ini menggunakan 2 (dua) cara, yaitu:
1. Hukum Islam dilegislasikan secara formal untuk umat Islam, seperti yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam; dan
2. Materi-materi hukum Islam diintegrasikan ke dalam hukum nasional tanpa menyudutkan hukum Islam secara formal, seperti yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentangPeradilan Agama.
Pemerintah memang telah berupaya melaksanakan legislasi hukum Islam dalam sistem hukum nasional, tetapi upaya ini masih berjalan lambat karena dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Hasballah Thaib (2002: 12), dikatakan bahwa pembaharuan hukum Islam di Indonesia agak lamban perkembangannya dibandingkan dengan negara-negara Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara. Keterlambatan ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Masih kuat anggapan bahwa taqlid masih cukup untuk menjawab persoalan-persoalan kontemporer, selain banyak ulama merasa lebih mengikuti pendapat ulama terdahulu daripada mengikuti pendapat orang banyak, tetapi khawatir untuk salah;
2. Hukum Islam di Indonesia dalam konteks sosial politik masa kini selalu mengundang polemik berada pada titik tengah antara paradigma agama dan paradigma negara. Bila dianggap sebagai paradigma negara, hukum Islam harus siap mengahadapi masyarakat yang plural; dan
3. Persepsi sebagian masyarakat yang mengindetikkan fiqih sebagai hasil kerja intelektual agama yang kebenarannya relatif dengan syariat yang merupakan produk Allah dan bersifat absolut.
Mahasiswa Harus Berperan Dalam Pencegahan Dan Penanggulangan LGBT
KHI sebagaimana yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, merupakan keberhasilan pemerintahan untuk melaksanakan legislasi hukum Islam dalam sistem hukum nasional. Latar belakang penyusunan KHI karena adanya kesimpangsiuran putusan dan tajamnya perbedaan pendapat tentang masalah-masalah hukum Islam, dan menurut Yahya (1990: 100), dikatakan bahwa adanya penonjolan kecenderungan mengutamakan fatwa atau penafsiran ulama dalam menetapkan dan menerapkan hukum menjadi salah satu alasan penyusunan KHI. Para hakim di peradilan agama, pada umumnya menjadikan kitab-kitab fiqih sebagai landasan hukum. Semula kitab-kitab tersebut merupakan literatur pengkajian ilmu hukum Islam, dan para hakim peradilan agama telah menjadikannya “kitab hukum” (perundang-undangan), dengan demikian dapat dikatakan bahwa ketiadaan hukum-hukum yang dirumuskan secara sistematis sebagai landasan rujukan mutlak atau hukum Islam yang ada di Indonesia, pada umumnya menjadi latar belakang penyusunan KHI. Melalui KHI tentunya umat Islam di Indonesia mempunyai pedoman fiqih yang seragam dan telah menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa Indonesia yang beragama Islam, sehingga diharapkan tidak akan terjadi kesimpangsiuran keputusan dalam lembaga-lembaga peradilan agama dan sebab-sebab khilaf yang disebabkan oleh masalah fiqih dapat diakhiri (Abdurrahman, 1992: 20).
ads
Latar belakang disusunnya KHI sebagaimana diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 adalah atas prakarsa penguasa Negara, dalam hal ini Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama (melalui Surat Keputusan Bersama) dan mendapat pengakuan ulama dari berbagai unsur. Secara resmi Kompilasi Hukum Islam merupakan hasil konsensus (ijma’) ulama dari berbagai golongan melalui media lokakarya yang dilaksanakan secara nasional, yang kemudian mendapat legalisasi dari kekuasaan negara (Bisri, 1999: 8).
KUP Akan Umumkan Caleg Mantan Terpidana Korupsi
Penyusunan KHI dapat dipandang sebagai suatu proses transformasi hukum Islam dalam bentuk tidak tertulis ke dalam peraturan perundang-undangan. Dalam penyusunannya dapat dirinci pada dua tahapan, yaitu: (1) tahapan pengumpulan bahan baku, yang digali dari berbagai sumber baik tertulis maupun tidak tertulis; dan (2) tahapan perumusan yang didasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sumber hukum Islam (Al-Quran dan Sunnah), khusunya ayat yang teksnya berhubungan dengan substansi KHI. Dalam penyusunan KHI, secara substansial dilakukan dengan mengacu kepada sumber hukum Islam yakni Al-Quran dan Sunnah, dan secara hierarki mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dari sudut lingkup the ideal law, kehadiran KHI merupakan rangkaian sejarah hukum nasional yang dapat mengungkapkan ragam makna kehidupan masyarakat Islam Indonesia, terutama tentang: (1) adanya norma hukum yang hidup dan ikut serta bahkan mengatur interaksi sosial; (2) aktualnya dimensi normatif akibat terjadinya eksplanasi fungsional ajaran Islam yang mendorong terpenuhinya tuntutan kebutuhan hukum; (3) responsi struktural yang dini melahirkan rangsangan KHI; dan (4) alim ulama Indonesia mengantisipasi ketiga hal ini dengan kesepakatan bahwa KHI adalah rumusan tertulis hukum Islam yang hidup seiring dengan kondisi hukum dan masyarakat Indonesia (Abdullah, 1994: 63).
ads
Keberadaan (eksistensi) KHI diukur oleh unsur-unsur sistem hukum nasional, yaitu: (1) landasan ideal dan konstitusional KHI adalah Pancasila dan UUD 1945, sebagaimana yang dimuat dalam konsideran Instruksi Presiden dan dalam penjelasan umum KHI, bahwa KHI disusun sebagai bagian dari sistem hukum nasional yang menjamin kelangsungan hidup beragama berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang sekaligus merupakan perwujudan kesadaran hukum masyarakat dan bangsa Indonesia; (2)KHI dilegalisasi oleh instrument hukum dalam bentuk Instruksi Presiden yang dilaksanakan oleh Keputusan Menteri Agama, yag merupakan bagian dari rangkaian peraturan perundang-undangan yang berlaku;(3) KHI dirumuskan dari tatanan hukum Islam yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah Rasul. KHI menjadi inti hukum Islam yang mencakup berbagai dimensi: syariah, fiqih, fatwa, qanun, idarah, qadha, dan adat, serta merupakan perwujudan hukum Islam yang bercorak ke-Indonesiaan; dan (4) saluran dalam aktulisasi KHI antara lain pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, sebagaimana dapat ditafsirkan secara teleologis dari penjelasan umum KHI (Abdurrahman, 1992: 9-10).
Penutup
Dilihat dari tata hukum nasional, KHI dihadapkan pada dua pandangan, yaitu: (1) sebagai hukum tidak tertulis seperti yang ditunjukkan oleh penggunaan instrumen hukum berupa Instruksi Presiden yang tidak termasuk dalam rangkaian tata urutan peraturan perundangan yang menjadi sumber hukum tertulis; dan (2)KHI dapat dikategorikan sebagai hukum tertulis yang menunjukkan bahwa KHI berisi “law” dan “rule” yang pada gilirannya terangkat menjadi “law”. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 dipandang sebagai salah satu produk “political power” yang mengalirkan KHI dalam jajaran “law”. Pada akhirnya masyarakat pemakai KHI yang menguji keberanian pandangan ini sehingga menjadikannya sebagai hukum tertulis.
* Mahasiswa Program Magister Kenotariatan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU)