Litigasi - Tindak pidana atau kejahatan menghasut ini diatur di dalam Pasal 160 KUHP yang isinya:“Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun utau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
ads
Pengertian “menghasut” menurut ahli hukum R. Soesilo dalam bukunya “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal” halaman 136, menyatkan:
“Menghasut artinya mendorong, mengajak, membangkitkan atau membakar semangat orang supaya perbuat sesuatu. Dalam kata menghasut tersimpul sifat dengan sengaja. Menghasut itu lebih keras dan pada memikat, atau membujuk, yang tersebut dalam Pasal 55 akan tetapi bukan memaksa.”
Kemudian, dalam memaknai pasal tersebut R. Soesilo (halaman 137) berpendapat yang pokoknya bahwa untuk dapat dihukum tidak perlu apa yang dihasut itu betul-betul terjadi, sudah cukup apabila hal-hal tersebut dihasutkan oleh terdakwa. Pun tidak perlu diselidiki apakah terdakawa mengetahui (mengerti), bahwa apa yang ia hasutkan itu betul-betul suatu peristiwa pidana, cukup apabila sudah terbukti, bahwa apa yang dia hasutkan itu (meskipun ia tidak isyaf) ternyata suatu peristiwa pidana.
Berkaitan dengan Menilai Delik Materil Dengan Teori Sebab Akibat (Kausalitas)
Pendapat R. Soesilo tersebut dapat disimpulkan bahwa “kejahatan menghasut” itu merupakan“delik formil” dimana suatu perbuatan dapat dihukum sepanjang memenuhi unsur-unsur yang dilarang oleh undang-undang tanpa harus melihat akibatnya.
Disamping itu, perlu juga mengutip pengertian “perbuatan menghasut” dari pendapat ahli pidana Dr. Mudzakir, S.H., M.H., di dalam Putusan MK No. 7/PUU-VII/2009 tanggal 22 Juli 2009, halaman 64 menyatakan:
“Esensi dari perbuatan menghasut adalah usaha untuk menggerakkan orang lain supaya melakukan perbuatan tertentu yang dikehendaki oleh penghasut, maka dalam perbuatan penghasutan ada dua kelompok yakni orang yang melakukan penghasutan dan orang yang dihasut. Oleh karena itu sumber niat untuk melakukan perbuatan tertentu yang dilarang dalam hukum pidana bersumber dari orang yang melakukan penghasutan”
Bahwa pasal itu pernah diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) dimana Dr. Rizal Ramli sebagai pemohon melalui kuasa hukumnya, MK mengeluarkan Putusan MK No. 7/PUU-VII/2009 tanggal 22 Juli 2009 yang terdapat poin-poin penting dalam pemberlakuan pasal dimaksud, bertindak sebagai Hakim Ketua kala itu adalah Moh. Mahfud MD.
ads
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 7/PUU-VII/2009 tanggal 22 Juli 2009, halaman 71, menyatakan:
“Meskipun demikian, dalam penerapannya, pasal a quo harus ditafsirkan sebagai delik materiil dan bukan sebagai delik formil”.
Oleh karenanya terjadi pergeseran dalam pemaknaan kejahatan penghasutan, awalnya sebagai “delik formil”menjadi “delik materil” pasca putusan MK itu.
Dikutip dari buku Drs. F.A.F. Lamintang, SH., Franciscus Theojunior Lamintang S.I.Kom., SH., MH., dalam bukunya berjudul “Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia” halaman 235 menyatakan bahwa "delik-delik formal" itu merupakan delik-delik yang dianggap sebagai telah selesai dilakukan oleh seseorang pelaku dengan dilakukannya sesuatu tindakan yang terlarang oleh undang-undang, sedang "delik-delik material" itu baru dianggap telah selesai dilakukan oleh pelakunya yaitu apabila tindakan dari pelaku tersebut secara nyata telah menimbulkan sesutu akibat yang terlarang oleh undang-undang (red).