Litigasi - Hak-hak atas tanah barat masih tetap berlaku setelah masa proklamasi kemerdekaan. Setelah proklamasi kemerdekaan terdapat keinginan yang kuat untuk segera mengakhiri berlakunya hukum pertanahan peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda. Hal ini dilakukan antara lain dengan penghapusan beberapa tanah hak Barat yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan semangat proklamasi, yaitu:
- Penghapusan tanah-tanah partikelir;
- Nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda;
- Tanah-tanah milik badan hukum yang ditinggal direksi;
- Penguasaan benda-benda tetap milik perorangan warga Negara Belanda;
Bahwa dalam pelaksanaan konversi tersebut ada beberapa prinsip yang mendasarinya yaitu:
- Prinsip nasionalitas UUPA Pasal 9 secara jelas menyebutkan hanya warga Negara Indonesia saja yang boleh mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa;
- Pengakuan hak-hak tanah terdahulu;
- Penyesuaian kepada ketentuan konversi bahwa sesuai Pasal 2 dari ketentuan konversi maupun Surat Keputusan Menteri Agraria maupun dari edaran-edaran yang diterbitkan maka hak-hak tanah yang pernah tunduk kepada Hukum Barat dan Hukum Adat harus disesuaikan dengan hak-hak yang diatur oleh UUPA;
- Status quo hak-hak tanah terdahulu bahwa dengan berlakunya UUPA dan PP 10 Tahun 1961 maka tidak mungkin lagi diterbitkan hak-hak baru atas tanah-tanah yang akan tunduk kepada Hukum Barat;
Menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau dikenal dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Diktum Kedua Pasal I, III dan V hak-hak atas tanah asal konversi Hak Barat akan berakhir masa berlakunya selambat-lambatnya tanggal 24 September 1980 dan setelah tenggang waktu tersebut berakhir menjadi tanah yang langsung dikuasai oleh negara.
Untuk mengatur akibat-akibat hukum dari ketentuan tersebut dan menentukan hubungan hukum serta penggunaan peruntukannya lebih lanjut dari tanah tersebut, telah dikeluarkan Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1979 tentang Pokok-pokok Kebijaksanaan dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak Barat, dan sebagai tindak lanjut atas Keputusan Presiden (Kepres) tersebut telah dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1979 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Permohonan dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat.
Bila dihubungkan dengan masalah-masalah pertanahan khususnya yang berkaitan dengan tanah hak-hak barat misalnya eigendom vervonding yang terjadi saat ini di masyarakat, banyak disebabkan akibat kekurang pahaman ataupun kelalaian masyarakat itu sendiri, masyarakat merasa bahwa hak tanah yang telah diterimanya dahulu merupakan hak milik.
Pengaturan eigendom sendiri berada di Pasal 570 Buku ke-2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) telah dinyatakan dicabut oleh UUPA. Kemudian, ketentuan Pasal 1 ayat (1) Bagian Kedua UUPA mengatur tentang konversi hak atas tanah eigendom menjadi hak milik. Selain itu, istilah verponding dalam UU No. 72 Tahun 1958 tentang Pajak Verponding untuk tahun-tahun 1957 dan berikutnya digunakan untuk menyebut salah satu jenis pajak yang dikenakan terhadap benda-benda tetap (tanah).
Pengertian eigendom vervonding belum dapat dikatakan sebagai hak milik karena kata tersebut mempunyai 2 (dua) arti yang berbeda, namun dalam penerapannya eigendom dan vervonding dibuat dengan nomor yang sama untuk mempermudah pembayaran pajak.
Menurut buku Yami Lubis dalam bukunya berjudul “Hukum Pendaftaran Tanah”, Halaman 218, pemberlakuan konversi terhadap hak-hak barat (termasuk eigendom) dilakukan dengan pemberian batas jangka waktu sampai 20 tahun sejak pemberlakuan UUPA. Artinya, UUPA mensyaratkan terhadap hak atas tanah eigendom dilakukan konversi menjadi hak milik sesuai ketentuan yang diatur di dalam UUPA selambat-lambatnya tanggal 24 September 1980.
Berdasarkan uraian di atas masyarakat harus melakukan pendaftaran ulang hak-hak barat yang telah diterimanya itu selambat-lambatnya tanggal 24 September 1980 agar segera diterbitkan hak baru atas tanah tersebut. Setelah lewat masa waktu yang ditentukan maka hak-hak atas tanah tersebut akan langsung dikuasai Negara.
Apakah Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah serta Badan-badan Negara Yang Memegang Hak Eigendom Vervonding Harus Melakukan Pendaftaran Ulang?
Merujuk ketentuan Pasal 6 Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1979 yang menyatakan “Hak Guna Bangunan, Hak Pakai asal konversi hak Barat yang Hak Guna Usaha, dimiliki oleh Perusahaan milik Negara, Perusahaan Daerah serta Badan badan Negara diberi pembaharuan hak atas tanah yang bersangkutan dengan memperhatikan ketentuan tersebut Pasal 1”, dimana Pasal 1 menegaskan; “Tanah Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai asal konversi hak Barat, jangka waktunya akan berakhir selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980, sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, pada saat berakhirnya hak yang bersangkutan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara”
Jika kita analisis dari ketentuan Pasal 1 di atas apabila pemegang hak Barat adalah Perusahaan milik Negara, Perusahaan Daerah serta Badan-badan Negara juga diwajibkan untuk mendaftarkan hak-hak barat yang dimilikinya, sama seperti pendaftaran ulang yang dilakukan masyarakat, apabila hak tersebut tidak didaftarkan sampai batas yang ditentukan maka hak tersebut akan langsung dikuasai Negara.
Namun, ternyata memang sampai saat ini masih ada tanah-tanah berstatus eigendom yang belum dikonversi. Menurut Yamin Lubis, Halaman 225, terhadap tanah yang masih berstatus eigendom tersebut masih dapat dilakukan konversi menjadi hak milik dengan mengikuti ketentuan yang diatur dalam PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.