Pembagian sertifikat tanah oleh Presiden RI Joko Widodo kepada masyarakat disambut pro-kontra. Ada yang menilai itu sebagai pencitraan dan suksesi Pilpres 2019 dimana Joko Widodo menjadi capresnya. Namun ada juga masyarakat menyambut positif dengan langkah itu mengingat sepanjang ini pengurusan sertifikat tanah menghabiskan biaya mahal dan waktu yang lama.
Pada Jumat pagi, 25 Januari 2019 berlokasi di Bandara Pondok Cabe Tangerang Selatan, Presiden Joko Widodo melangsungkan serah terima sertifikat tanah kepada masyarakat. Di tengah rasa suka cita masyarakat penerima sertifikat ada persoalan klise yang dialami oleh masyarakat, disampaikan langsung kepada Presiden.
Masyarakat mengisahkan kepada Presiden Jokowi bahwa mereka dikenakan pungutan sebesar Rp. 2 Juta s/d Rp. 3 Juta untuk mengurus sertifikat tanah yang akan dibagikan Presiden. Secara psikologis, kekecewaan masyarakat telah mencapai puncaknya hingga mereka berani menyampaikan keluhan itu langsung kepada Presiden. Dengan harapan yang tinggi Presiden akan segera menindak tegas oknum-oknum yang melakukannya.
Tapi apa ceritanya, Presiden menanggapi dengan menerangkan bahwa tidak ada pungutan sebesar itu, dan menganjurkan agar masyarakat melaporkan pungutan liar itu kepada yang berwajib. Presiden juga mengklarifikas bahwa ada biaya pengukuran dan patok sebesar Rp. 150 ribuan, jumlahnya berbeda-beda di setiap propinsi. Seperti yang dilansir dari Kompas.com Presiden mengatakan “Memang kesepakatan di setiap provinsinya beda-beda, karena patok harus bayar. Patok enggak mahal lah Rp. 150-an ribu”. Pernyataan itu menafikan pungli yang begitu mahal di tengah masyarakat.
Menyikapi pungli itu, Jusuf Kalla juga menyampaikan keprihatinannya. Orang nomor 2 di negeri ini juga menganjurkan kepada masyarakat untuk melaporkan tindakan itu. Pemberian sertifkat tanah yang sedang digalakan oleh pemerintah dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk meraup keuntungan pribadi.
Namun, pertanyaannya mengapa Presiden dan Wakil Presiden tidak tegas dengan memerintahkan Kepala Kepolisian untuk jemput bola mengungkap laporan itu, melakukan penyelidikan dan penyidikan. Membersihkan citra program unggulan pemerintah dari tindakan pungli yang menodainya. Sesungguhnya tidak perlu lagi laporan ke Kepolisian, masyarakat sudah membuat laporan meskipun hanya secara lisan, justru sangat strategis menyampaikan laporan kepada Presiden langsung yang memiliki kewenangan eksekutif tertinggi. Presiden harus bertindak tegas, karena berpotensi besar merusak citra program unggulan pemerintah. Program yang begini saja berani oknum melakukan pungli bagaimana dengan pelayanan publik yang luput dari perhatian Presiden.
Mengingat praktek pungli itu dialami oleh masyarakat secara masal maka pengungkapannya tidak begitu sulit bagi aparat penegak hukum, setiap masyarakat bisa bersaksi di hadapan penegak hukum tentang pungli yang dialaminya dan anggota masyarakat lainnya. Tentu aparat penegak hukum punya metode yang jitu untuk mengungkap kasus ini secara cepat dan terukur.
Aturan untuk menjerat tindakan pungli itu pun sudah jelas dan tegas, diantaranya dapat dipersangkakan dengan Pasal 11 dan 12 UU 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, atau Pasal 368 KUH Pidana, yakni:
Pasal 11 UU 20 tahun 2001 menyatakan “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.”
Pasal 12 UU 20 tahun 2001 menyatakan “Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
- pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
- pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;”
Pasal 368 (1) KUH Pidana menyatakan “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan.”
Jadi, aturan dan lembaga yang berwenang mengusut tuntas laporan masyarakat itu sudah lengkap, elegannya Presiden bersifat tegas memerintahakan kepada lembaga yang berwenang mengungkap oknum-oknum yang bermain dibalik program unggulan Presiden itu. Oknum-oknum yang terlibat dari tingkat desa/kelurahan sampai dengan oknum di Badan Pertanahan Nasional setempat ditindak secara proporsional dan profesional. (red)