Litigasi - Kedudukan lembaga pembiayaan (finance/leasing) atau dalam perjanjian fidusia disebut kreditur dan kedudukan debitur dalam pratek fidusia tidak seimbang. Prinsip proporsional dan asas keseimbangan dalam perjanjian pada prakteknya sering dikangkangi hingga mengabaikan hak-hak debitur. Kreditur seolah memanfaatkan kondisi debitur yang dalam posisi membutuhkan objek fidusia. Debitur faktanya sering mendapatkan perlakuan tidak adil. Sejak awal penandatangan perjanjian fidusia debitur disodorkan surat-surat yang tidak difahami, hingga penyerahan buku hak objek fidusia debitur kerap dibebani biaya yang tidak diperjanjikan sebelumnya.
ads
Konon lagi ketika debitur berhalangan membayar cicilan utang, kreditur melalui tangan pihak ketiga atau debt collector melakukan tarik paksa objek fidusia - tidak jarang - menggunakan cara-cara kekerasan dan paksaan. Kemudian setelah objek fidusia berada dalam kekuasaan kreditur, debitur dipaksa membayar lunas utangnya, dan jika tidak dilunasi maka kreditur melelang objek fidusia secara sepihak.
Tindakan kreditur sepanjang ini dikarenakan sertifikat jaminan fidusia memiliki kekuatan eksekutorial seperti halnya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), sebagaimana dimaksud Pasal 15 ayat (2) dan (3) UU No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF), yang berbunyi:
Pasal 15 ayat (2) menyatakan:Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.Pasal 15 ayat (3) menyatakan:Apabila debitur cidera janji Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri.
Konstitusionalitas kedua pasal diatas telah diuji oleh Mahkamah Konstitusi (MK) atas permohonan uji materil yang dilakukan Aprilliani Dewi dan Suri Agung Prabowo. Atas permohonan itu, MK telah menerbitkan Putusan No. 18/PUU-XII/2019 yang dibacakan pada sidang pleno Senin, 6 Januari 2020.
Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 15 ayat (2) dan (3) UUJF bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 yang isinya:
Pasal 1 ayat (3) menyatakan:Negara Indonesia adalah negara hukum.Pasal 27 ayat (1) menyatakan:Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.Pasal 28D ayat (1) menyetakan:Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.Pasal 28G ayat (1) menyatakan:Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.Pasal 28H ayat (4) menyatakan:Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.
Pemohon mempersoalkan frasa “kekuatan eksekutorial” dan “sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” di dalam Pasal 15 ayat (2) UUJF. Juga mempersoalkan frasa “debitur cidera janji” dan “Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri” di dalam Pasal 15 ayat (3) UUJF.
ads
Frasa “kekuatan eksekutorial” berarti bahwa Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekusi sama seperti putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau pasti (inkracht van gewijsde). Hal ini menunjukan bahwa Pasal itu lebih berpihak kepada kreditur atau lembaga pembiayaan yang notabene adalah pemilik modal. Dan oleh karenanya lebih memberikan kepastian hukum bagi penerima fidusia (kreditur) ketimbang pemberi fidusia (debitur) dengan jalan kreditur dapat melakukan eksekusi objek fidusi secara serta merta, sesuai maksud Pasal 15 ayat (2) UUJF.
Berkaitan dengan frasa “debitur cidera janji” (wanprestasi) menurut pemohon menimbulkan persoalan tentang metode menentukan kapan debitur telah “cidera janji,” sepanjang ini ditentukan kreditur secara sepihak, tanpa mekanisme dan prosedur penilaian yang jelas dalam melihat tindakan debitur yang dinilai “cidera janji” itu. Pemberi fidusia (debitur) tidak diberikan mekanisme hukum yang setara untuk menguji kebenarannya. Setelah ditentukan sepihak oleh kreditur bahwa debitur “cidera janji” maka kreditur dapat melakukan eksekusi objek jaminan fidusia dengan cara mengambil alih dan kemudian menjual objek jaminan fidusia sendiri, sesuai isi Pasal 15 ayat (3) UUJF.
Terdapat kekurangan dalam Pasal 15 ayat (2) dan (3) UUJF dimana tidak menjelaskan prosedur eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia, dan tidak mengatur mekanisme menentukan “debitur cidera janji”. Sehingga menimbulkan pengertian Pasal itu memberikan legitimasi kepada kreditur untuk melakukan eksekusi secara serta merta tanpa prosedur hukum yang benar dan menimbulkan kesewenang-wenangan dari penerima jaminan fidusia. Seharusnya, ketika mempersamakan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) diikuti aturan tentang prosedur dan tata cara eksekusi. Dengan tidak adanya aturan itu maka berimplikasi kepada pengabaian asas kepastian hukum (legal certainty) dan asas keadilan hukum (legal justice) serta mengabaikan perlindungan terhadap hak milik pribadi pemberi fidusia, karena lebih cenderung melindungi Penerima Fidusia daripada melindungi kepentingan debitur (pemberi fidusia).
Sepanjang ini, dengan “kekuatan eksekutorial” itu menimbulkan kesewenang-wenangan dari kreditur dalam mengambil alih objek jaminan fidusia. Tanpa mengikuti mekanisme eksekusi pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dengan cara mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 196 Herzien Inlandsch Reglement (HIR) yang menyatakan:
Pasal 196 HIR menyatakan:
Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan damai, maka fihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua, pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195, buat menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari.
Seharusnya kreditur mempedomani ketentuan ketentuan Pasal 196 HIR itu bukan melakukan tarik paksa yang mengakibatkan terganggunnya tertib hukum.
Menurut MK dalam pertimbangannya bahwa dalam perspektif konstitusionalitas norma Pasal 15 ayat (2) UUJF di atas tidak mencerminkan adanya pemberian perlindungan hukum yang seimbang antara pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian fidusia dan juga objek yang menjadi Jaminan Fidusia, baik perlindungan hukum dalam bentuk kepastian hukum maupun keadilan.
Hal tersebut menunjukkan, di satu sisi adanya hak yang bersifat eksklusif yang diberikan kepada kreditur dan, di sisi lain telah terjadi pengabaian hak debitur yang seharusnya juga mendapat perlindungan hukum yang sama, yaitu hak untuk mengajukan/mendapat kesempatan pembelaan diri atas adanya dugaan telah cidera janji (wanprestasi) dan kesempatan mendapatkan hasil penjualan objek jaminan fidusia dengan harga yang wajar.
Bahwa dengan mencermati beberapa permasalahan yang berkaitan dengan konstitusionalitas norma Pasal 15 ayat (2) UUJF yang memberikan “titel eksekutorial” dan “mempersamakan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” telah ternyata dapat berdampak pada tindakan eksekusi sepihak tanpa melalui proses eksekusi sebagaimana seharusnya sebuah eksekusi atas putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu seharusnya dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri. Sebagai konsekuensi logisnya, tindakan secara sepihak yang dilakukan oleh kreditur selaku penerima hak fidusia berpotensi (bahkan secara aktual telah) menimbulkan adanya tindakan sewenang-wenang dan dilakukan dengan cara yang kurang “manusiawi”, baik berupa ancaman fisik maupun psikis yang sering dilakukan kreditur (atau kuasanya) terhadap debitur yang acapkali bahkan dengan mengabaikan hak-hak debitur.
Terjadi ketidakpastian hukum berkaitan dengan tata cara eksekusi dan ketidakpastian tentang waktu kapan pemberi fidusia (debitur) dinyatakan “cidera janji” (wanprestasi), apakah sejak adanya tahapan angsuran yang terlambat atau tidak dipenuhi oleh debitur ataukah sejak jatuh tempo pinjaman debitur yang sudah harus dilunasinya. Ketidakpastian demikian juga berakibat pada timbulnya penafsiran bahwa hak untuk menentukan debitur “cidera janji” ada di tangan kreditur (penerima fidusia). Dengan sendirinya berakibat hilangnya hak-hak debitur untuk melakukan pembelaan diri dan kesempatan untuk mendapatkan penjualan objek jaminan fidusia dengan harga yang wajar.
Disamping itu sering menimbulkan “paksaan” dan “kekerasan” dari orang yang mengaku sebagai pihak yang mendapat kuasa untuk menagih pinjaman utang debitur, bahkan telah melahirkan perbuatan sewenang-wenang yang berimplikasi merendahkan harkat martabat debitur
Namun demikian, Mahkamah berpendapat kewenangan eksklusif yang dimiliki oleh penerima hak fidusia (kreditur) tetap dapat melekat sepanjang tidak terdapat permasalahan dengan kepastian waktu perihal kapan pemberi hak fidusia (debitur) telah “cidera janji” (wanprestasi) dan debitur secara suka rela menyerahkan benda yang menjadi objek dari perjanjian fidusia kepada kreditur untuk dilakukan penjualan sendiri. Dengan kata lain, dalam hal ini, pemberi fidusia (debitur) mengakui bahwa dirinya telah “cidera janji” sehingga tidak ada alasan untuk tidak menyerahkan benda yang menjadi objek perjanjian fidusia kepada penerima fidusia (kreditur) guna dilakukan penjualan sendiri oleh penerima fidusia (kreditur). Maka menjadi kewenangan sepenuhnya bagi penerima fidusia (kreditur) untuk dapat melakukan eksekusi sendiri (parate eksekusi).
Bahwa atas permohonan pemohon, MK menyatakan norma Pasal 15 ayat (2) UUJF, khususnya frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” hanya dapat dikatakan konstitusional sepanjang dimaknai bahwa “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang telah terjadinya “cidera janji” (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”. Sementara itu, terhadap norma Pasal 15 ayat (3) UUJF khususnya frasa “cidera janji” hanya dapat dikatakan konstitusional sepanjang dimaknai bahwa “adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji.
MK tidaklah serta-merta menghilangkan keberlakuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan eksekusi sertifikat jaminan fidusia yang bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum kepada para pihak yang terikat dalam perjanjian fidusia, sepanjang sejalan dengan pertimbangan dan pendirian MK a quo. Dengan demikian, baik eksekusi yang dilaksanakan oleh kreditur sendiri karena telah ada kesepakatan dengan pihak debitur maupun eksekusi yang diajukan melalui pengadilan negeri, tetap dimungkinkan bantuan dari kepolisian dengan alasan untuk menjaga keamanan dan ketertiban dalam proses pelaksanaan eksekusi. Bantuan demikian sudah merupakan kelaziman dalam setiap pengadilan negeri menjalankan fungsi dalam pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam perkara perdata pada umumnya.
Bahwa dengan telah dinyatakannya inkonstitusional terhadap frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” dalam norma Pasal 15 ayat (2) dan frasa “cidera janji” dalam norma Pasal 15 ayat (3) UUJF, meskipun Pemohon tidak memohonkan pengujian Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UUJF namun dikarenakan pertimbangan Mahkamah berdampak terhadap Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UUJF, maka terhadap frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” dalam Penjelasan norma Pasal 15 ayat (2) dengan sendirinya harus disesuaikan dengan pemaknaan Pasal 15 ayat (2) UUJF dengan pemaknaan “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Pada kesimpulannya bahwa eksekusi objek jaminan fidusia tidak dapat dilakukan sepihak oleh kreditur atau kuasanya, tetapi harus melalui permohonan eksekusi ke pengadilan negeri seperti halnya permohonan eksekusi pada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). (Red)