Litigasi - Pasca pembunuhan enam jenderal oleh PKI pada 30 September 1965, yang dikenal dengan G30S/PKI, perpolitikan Indonesia mengalami gejolak. Pasukan keamanan bergerak cepat menumpas pihak-pihak yang dinobatkan sebagai otak pelaku G30S/PKI, orang-orang yang terlibat termasuk pengikut-pengikutnya dari kalangan masyarakat yang tersebut di seluruh wilayah Indonesia.
Pemerintah saat itu juga berfokus mengembalikan keamanan negara dari rongrongan PKI. Hal itu ditindaklanjuti dengan pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dilakukan pada 12 Maret 1966 dengan Surat Keputusan Presiden No. 1/3/1966, Perihal Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), ditandatangani oleh Soeharto, mengatasnamakan Presiden Soekarno.
ads
Sekitar empat bulan kemudian, tepatnya pada 5 Juli 1966 MPRS yang dipimpin oleh Jenderal TNI bernama AH Nasution mengeluarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia No: XXV/MPRS/1966, 5 Juli 1966, Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia. Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang Diseluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia Dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan Atau Mengembangkan Faham Atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.
Pasal 2 TAP MPRS tersebut menegaskan; Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme/ Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan faham atau ajaran tersebut dilarang.
Itu menjadi benteng pertahanan yuridis melarang penyebaran komunis/marxisme/leninisme. Sampai sekarang TAP MPRS itu belum pernah dicabut dan oleh karenanya masih berlaku. Dalil yang kuat bahwa komunis/marxisme/leninisme menjadi ancaman serius atau bertentangan dengan falsafah bangsa yang tertuang di dalam Pancasila.
Namun perlu diketahui, pelarangan itu senyatanya belum cukup karena pelaku penyebarannya tidak bisa dijatuhi sanksi pidana berupa penjara atau hukuman lainnya. Karena sanksi penjara itu harus diatur di dalam undang-undang, sampai saat ini tidak ada undang-undang yang mengatur sanksi tersebut. Jika pelarangan PKI dianggap serius oleh negeri ini maka secara mutlak dibutuhkan undang-undang yang mengatur sanksi tersebut.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang saat ini sedang berlaku sebagai warisan rezim kolonial Belanda tidak ada memberikan sanksi penjara dan sanksi lainnya terhadap pelaku penyebaran komunis/marxisme/leninisme.
Konsentrasi penumpasan komunis/marxisme/leninisme dari tahun ke tahun sejak 1965 belum pernah berhenti. Energi negeri ini banyak dihabiskan untuk itu, sementara masih banyak pekerjaan lain yang penting terkait mensejahterakan rakyat sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Masalahnya adalah bahwa sepanjang tidak ada sanksi tegas maka penganut faham komunis/marxisme/leninisme terus mencoba mendobrak pertahanan negeri ini agar dapat hidup dan berkembang kembali, bahkan tidak menutup kemungkinan mengganti ideologi Pancasila.
ads
Rezim KUHP warisan kolonial Belanda yang tidak memberikan sanksi penyebar dan penganut komunis/marxisme/leninisme selangkah lagi sebenarnya akan berakhir pada September 2019, namun hal itu tidak tercapai karena arus demonstrasi begitu kuat menuntut pengesahan RUU-KUHP tidak diketok. Pada akhirnya rapat paripurna DPR pada 30 September 2019 yang dipimpin oleh Bambang Soesatyo sepakat memutuskan menunda pengesahan RUU-KUHP. Sehingga rezim KUHP warisan kolonial Belanda itu masih berdiri tegak berlaku di NKRI, tentunya tidak mengatur sanksi tegas bagi komunis/marxisme/leninisme .
Padahal RUU-KUHP yang ditentang itu telah mengatur sanksi tegas berupa penjara bagi komunis/marxisme/leninisme, sanksi itu dapat dijatuhkan kepada pelaku yang menyebarkan atau mengembangkan, bermaksud mengubah atau mengganti Pancasila dengan ideologi komunis/marxisme/leninisme, kegiatan menyebarkan atau mengembangkan itu mengakibatkan terjadinya kerusuhan masal dan mengkibatkan kerugian harta kekayaan, mengakibatkan luka berat dan mengkibatkan kematian. Perbuatan-pebuatan itu diberikan sanksi penjara selama 4 (empat) tahun penjara sampai dengan 15 (lima belas) tahun penjara, sebagaimana diatur di dalam Pasal 188 RUU-KUHP, yakni;
(1) Setiap Orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apapun dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) mengakibatkan terjadinya kerusuhan dalam masyarakat atau kerugian Harta Kekayaan dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.
(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengakibatkan orang menderita Luka Berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
(5) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengakibatkan matinya orang dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
(6) Tidak dipidana orang yang melakukan kajian terhadap ajaran komunisme/marxisme-leninisme untuk kepentingan ilmu pengetahuan.
Selanjutnya, RUU-KUHP semakin tegas menginginkan organisasi-organisasi yang bernafaskan ideologi komunisme/marxisme-leninisme ditumpas dari NKRI ini. Orang-orang yang bertindak sebagai pendirinya dapat dihukum dengan hukuman maksimal 10 (sepuluh) tahun.
Dilarang menjalin hubungan dengan cara memberi atau menerima bantuan dari organisasi di dalam maupun luar negeri yang sepatutnya diketahui menganut ajaran komunisme/marxisme/leninisme dengan maksud mengubah dasar negara atau menggulingkan pemerintah yang sah. Sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 189 RUU-KUHP itu:
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun, Setiap Orang yang:
a. mendirikan organisasi yang diketahui atau patut diduga menganut ajaran komunisme/marxisme-leninisme; atau
b. mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada atau menerima bantuan dari organisasi, baik di dalam maupun di luar negeri, yang sepatutnya diketahui menganut ajaran komunisme/marxismeleninisme dengan maksud mengubah dasar negara atau menggulingkan pemerintah yang sah.
Tindak pidana berkaitan dengan penyebaran dan pengembangan faham komunisme/marxisme/leninisme diatur di dalam Buku Kedua, dikwalifikasikan sebagai Kejahatan Terhadap Keamanan Negara, dan dimasukan dalam Bagian Kesatu tentang Tindak Pidana Terhadap Ideologi Negara.
ads
RUU-KUHP ini sebagai turunan dari TAP MPRS di atas, untuk meneguhkannya maka perlu kriminalisasi tindakan penyebaran dan pengembangan faham komunis/marxisme/leninisme, jika tidak maka akan lemah pertahanan untuk menjaga ideologi Pancasila. Hal itu sebagaimana ditegaskan di dalam Naskah Akademik dari RUU-KUHP tersebut yang menyatakan:
Adapun perilaku yang perlu dikriminalisasi untuk mencegah terjadinya pengkhianatan tersebut di atas adalah: perbuatan menentang ideologi negara Pancasila atau UUD 1945, kegiatan penyebaran faham komunis atau marxisme atau leninisme, dan hubungan dengan organisasi yang berasaskan komunisme, atau marxisme atau leninisme. Adapun perbuatan-perbuatan tersebut merupakan tindak pidana, apabila menimbulkan akibat terganggunya stabilitas di bidang politik dan keamanan (delik materil).
Setidaknya dari pasal-pasal tersebut dapat mengamankan ideologi pancasila. Negara ini dalam sejarahnya telah membuktikan di depan mata tentang kekejaman PKI. Dengan demikian, seluruh pihak harus melawan berkembang komunisme/marxisme/leninisme di NKRI.
Demonstrasi yang meluas di berbagai kota besar di Indonesia di akhir september 2019 itu telah dikemas isunya sedemikian rupa. Yang anyar adalah menolak perubahan Undang-undang KPK dan menolak pengesahan RUU-KUHP itu sendiri. Apakah isu menolak perubahan atas undang-undang KPK itu dijadikan kendaraan saja? tujuan utamanya adalah menolak keras RUU-KUHP karena di dalamnya terdapat aturan untuk mengkriminalisasi komunisme/marxisme/leninisme. Apakah ada pergerakan dalam senyap memperdaya mahasiswa untuk melegitimasi demonstrasi? Mahasiswa dijadikan tameng berlindung bagi penganut komunisme/marxisme/leninisme. Apakah demikian? Belum bisa dibenarkan karena belum terbukti, tetapi lambat laun sejarah akan mengungkap itu. Apalagi akhir-akhir ini banyak isu tentang upaya menghidupkan kembali komunisme/marxisme/leninisme. (Red)