Litigasi - Sebelumnya status hubungan hukum anak lahir diluar nikah diatur di dalam Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) yang telah dirubah dengan UU No. 16 tahun 2019, isi pasal itu menyatakan:
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”
Bermakna bahwa anak diluar nikah tidak mempunyai hubungan perdata dengan laki-laki yang telah berhubungan seksual dengan ibunya itu, demikian juga terputus hubungannya dengan keluarga laki-laki itu. “Hubungan perdata” yang dinyatakan dalam Pasal 43 ayat (1) UUP tidak ada penjelasannya di dalam UUP, namun hubungan perdata itu dapat dimaknai dengan hubungan nasab, hubungan kekerabatan, hubungan waris, hak dan kewajiban pemberian nafkah dan lain-lainnya berkaitan dengan pemeliharaan anak tersebut sepanjang hidupnya.
ads
Norma itu menimbulkan polemik di tengah-tengah masyarakat, terutama polemik bagi si anak yang kelahirannya di dunia tentunya diluar kehendaknya, jika dipertanyakan kepada si anak maka tidak ada yang menginginkan akan dilahirkan tanpa status perkawinan antara seorang laki-laki dan wanita. Sehingga tidaklah adil jika hak-haknya sebagai anak diabaikan begitu saja, tanpa mendapatkan perlindungan hukum.
Hak-haknya haruslah dipandang tidak berkaitan dengan status keabsahan perkawinan antara laki-laki dan wanita itu. Anak yang lahir harus dijaga kepentingan oleh hukum sampai dia menjadi orang yang dapat berdiri sendiri sebagai seorang manusia dewasa. Setelah dewasapun seharusnya tetap dijaga pertalian nasab dan warisnya dengan orang-orang yang mengakibatkan kelahirannya.
Dalm perspektif tersebut sudah seharusnya anak diluar nikah mendapatkan jaminan dan perlindungan hukum dari negara. Namun hal itu jangan dimaknai untuk melegalisasi perzinahan atau hubungan badan diluar nikah. Tetapi lebih menekankan menjaga kemashlahatan bagi si anak.
Perkembangan hukum selanjutnya telah menjawab status hukum anak diluar nikah yang sepanjang ini hanya diakui dengan ibu yang melahirkannya dan keluarga ibunya itu – sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 43 ayat (1) UUP – telah diuji di Mahkamah Konstitusi, dan telah dikeluarkan putusan terhadap hal itu yang intinya menyatakan Pasal 43 ayat (1) UUP itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Hal itu dimaksud di dalam Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 yang lebih jelas dapat dilihat di dalam amar putusan yang isinya menegaskan:
- Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya;
- Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”;
Jadi, pasca Putusan MK itu telah jelas bahwa anak diluar nikah memiliki hubungan perdata dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
ads
Pertimbangan hukum yang dikeluarkan oleh Hakim Mahkamah Konstitusi meletakan bahwa secara alamiah, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya. Lebih-lebih manakala berdasarkan perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tertentu.
Selanjutnya MK menyatakan bahwa akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan, yang didahului dengan hubungan seksual antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki, adalah hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban secara bertimbal balik, yang subjek hukumnya meliputi anak, ibu, dan bapak.
ads
Hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan.
Putusan MK itu pada akhirnya menyatakan Pasal 43 ayat (1) UUP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, kemudian MK memberikan norma baru yang menekankan diakuinya hubungan perdata anak di luar nikah dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya, sebagaimana ditegaskan di dalam amar putusan MK itu (red).