Polemik pembatasan masa jabatan Wakil Presiden sebelumnya sudah pernah diajukan Judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Pemohon dari Perwakilan Rakyat Proletar untuk Konstitusi dan Pemohon perseorangan . Sebagaimana telah dijelaskan MK dalam Putusan No. 36/PUU-XVI/2018 dan Putusan No. 40/PUU-XVI/2018, dimana MK tidak menerima permohonan uji materil Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Mahkamah menyampaikan kesimpulan yang sama mengenai dua pasal yang dimohonkan pengujiannya. Mahkamah menyatakan pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau Legal standing dan karenanya pokok permohonan tidak dipertimbangkan, Mahkamah juga menilai pemohon tidak dirugikan hak konstitusionalnya untuk memilih calon Presiden dan Wakil Presiden.
Kemudian dalam pertimbangannya, Mahkamah menyatakan para pemohon tidak dapat menjelaskan dalil-dalil yang diajukan sehubungan dengan kedudukan hukumnya. Menurut majelis, yang memiliki Legal standing untuk mengajukan uji materi dua pasal ini adalah orang yang pernah menjabat Presiden dan Wakil Presiden selama dua periode dalam masa jabatan yang tidak berturut-turut. Para pemohon bukanlah orang yang pernah menjabat presiden atau wakil presiden selama dua kali masa jabatan yang sama secara tidak berturut-turut.
Batasan jabatan Presiden dan Wakil Presiden juga diatur dalam UUD 1945 yang tercantum dalam Pasal 7 yang menyatakan bahwa:
Presiden dan Wakil Presiden dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Selanjutnya UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum telah tertuang dalam Pasal 169 huruf n yang menyatakan bahwa:
...belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.
Kemudian Pasal 227 huruf i juga mengatakan bahwa :
surat pernyataan belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.
Jika kita melihat Orde Baru, rumusan pembatasan masa jabatan 2 periode lahir dari kehendak untuk membatasi kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden dengan mempertimbangkan pengalaman Presiden Soeharto selama 32 Tahun menjabat di Orde Baru yang pertama kali dilakukan melalui TAP MPR No. XIII/MPR/1998. Kekuasaan Presiden Soeharto sangat besar dan semakin besar karena dapat menjabat tanpa adanya batasan menjabat untuk beberapa periode.
Namun batasan jabatan Wakil Presiden kembali menghangat setelah Jusuf Kalla menjadi pihak dalam Uji materi di Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh Partai Perindo, dan digadang-gadang sebagai salah satu calon kuat yang masih layak mendampingi Presiden Joko Widodo menjelang pertarungan di Pilpres 2019 nanti.
Mengingat Jusuf Kalla sudah pernah menjabat sebagai Wakil presiden untuk dua periode, yaitu periode Presiden SBY 2004 – 2009 dan periode Presiden Joko Widodo 2014-2019. Hal ini yang menjadi perdebatan publik terkait ketentuan Pasal 7 UUD 1945 dan Pasal 169 huruf n serta Pasal 227 huruf i. Banyak kalangan menafsirkan bahwa Pasal 7 UUD 1945 mengatur batasan masa jabatan Wakil Presiden 2 (dua) periode dimaknai secara berturut-turut. Artinya, seseorang dapat menjabat Presiden atau Wakil presiden lebih dari 2 (dua) periode asalkan tidak berturut-turut menjabat. Namun disisi lain batasan masa jabatan Presiden dan wakil Presiden harus dimaknai baik secara berturut-turut maupun tidak. Artinya. Seseorang dibolehkan menjabat sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2 (dua) periode baik secara berturut-turut maupun dengan jedah terlebih dahulu. Hal inilah yang membuat Pasal 169 huruf n digugat oleh Partai Perindo ke Mahkamah Konstitusi dengan melibatkan Jusuf Kalla yang merupakan pihak terkait yang mempunyai kedudukan hukum (Legal Standing) di Mahkamah Konstitusi.