Litigasi - Perikatan merupakan tindakan hukum yang bersifat timbal balik menimbulkan sisi aktif dan sisi pasif. Sisi aktif menimbulkan hak bagi kreditor untuk menuntut pemenuhan prestasi, sedangkan sisi pasif menimbulkan beban kewajiban bagi debitur untuk melaksanakan prestasinya. Pada situasi normal antara prestasi dan kontra prestasi akan saling bertukar, namun pada kondisi tertentu pertukaran prestasi tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga muncul peristiwa yang disebut wanprestasi (Agus Yudha Hernoko. 2010: 260-261).
ads
Menurut Kamus Hukum, Wanprestasi berarti kelalian, kealpaan, tidak menepati janji, tidak memenuhi kontrak. Jadi, wanprestasi adalah suatu keadaan dalam mana seorang debitor (berutang) tidak melaksanakan prestasi yang diwajibkan dalam suatu kontrak, yang dapat timbul karena kesengajaan atau kelalaian debitor itu sendiri dan adanya keadaan memaksa (overmacht). (Muhammad Syaifuddin. 2012: 338)
Sedangkan Wanprestasi menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau BW (Burgerlijk wetboek voor Indonesie disebut dalam Pasal 1238 berbunyi;
Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa Si berutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.
Orang atau pihak yang lalai akan pemenuhan kewajibannya sementara ia sudah mengikatkan diri di dalam suatu kesepakatan (perikatan) dapat digolongkan menjadi empat katagori yakni:
- Kreditur sama sekali Tidak melaksanakan isi kesepakatan;
- Kesepakatan tersebut dilaksanakan akan tetapi melenceng dari isi kesepakatan;
- Kesepakatan tersebut dilaksakan tetapi sudah lewat waktu;
- Melakukan perbuatan atau tindakan yang tidak ada disepakati.
ads
Akibat dari adanya wanprestasi tersebut, masing-masing pihak yang merasa dirugikan berhak menggugat ke Pengadilan untuk menuntut ganti rugi, berupa penggantian biaya, kerugian dan bunga jika ada. Sebagaiman dinyatakan dalam Pasal 1243 dan Pasal 1244 KUH Perdata (BW) yang berbunyi sebagai berikut:
Menurut Muhammad Syaifuddin dalam bukunya yang berjudul Hukum Kontrak Memahami Kontrak Dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik, Dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan) Halaman 339, secara prosedural tetapi konkrit, suatu wanprestasi baru terjadi jika debitor atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak, dinyatakan lalai (in mora stelling; ingebereke stelling) untuk melaksanakan prestasinya, atau dengan kata lain wanprestasi ada jika debitor atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak tersebut tidak dapat membuktikan bahwa ia telah melakukan wanprestasi itu di luar kesalahannya atau karena keadaan memaksa. Jadi, pernyataan lalai adalah suatu rehctmiddel atau upaya hukum kontrak (vide KUH Perdata) untuk sampai kepada tahap debitor atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak tersebut dinyatakan wanprestasi.
ads
Jika dalam pelaksanaan prestasi tersebut tidak ditentukan tenggang waktunya, maka seorang kreditor atau pihak yang mempunyai hak menerima prestasi dalam kontrak, dipandang perlu memeringatkan/menegur agar debitor atau pihak lainnya yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak untuk memenuhi kewajibannya. Teguran ini disebut juga dengan somasi (sommatie).
Wanprestasi yang dilakukan oleh debitor atau pihak yang mememiliki kewajiban untuk melaksanakan prestasi dalam perikatan, dapat menimbulkan kerugian bagi kreditor atau pihak lain yang mempunyai hak atas prestasi tersebut.
Oleh karena adanya wanprestasi debitor atau pihak yang mempunyai kewajiban dalam melaksanakan prestasi atas kontrak mengakibatkan hal-hal sebagai berikut:
- Harus mengganti kerugian yang diderita oleh kreditor atau pihak lain yang memiliki hak untuk menerima prestasi tersebut (Pasal 1243 BW);
- Harus Pemutusan kontrak yang dibarengi dengan pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267 BW);
- Harus menerima peralihan resiko sejak wanprestasi tersebut terjadi (Pasal 1237 ayat (2) BW);
- Harus menanggung biaya perkara jika perkara tersebut dibawa ke pengadilan (Pasal 181 ayat (2) HIR).
Artiket terkait: